Identitas Sebakul Rasi-Beras
Singkong
Neneng
(31) warga Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan, Kota Cimahi,
Jawa Barat, menanak nasi singkong dengan cara tradisional menggunakan kayu
bakar dan kukusan, Jumat (23/9). Makanan nasi singkong atau beras singkong yang
terbuat dari singkong yang digiling menjadi tepung ini menjadi makanan pokok
warga kampung adat tersebut yang masih terjaga hingga kini.
Kesibukan kecil tampak dari dapur
keluarga Emen Sunarya (75), Rabu (10/8) siang. Cicih (66), istri Emen, sedang
menyiapkan makan keluarga untuk sore hari. Sebakul rasi (nasi singkong) sudah
terlebih dulu terhidang di meja makan. Tak boleh ketinggalan, rasi adalah yang
terpokok. ”Ini identitas kami,” kata Emen.
Jauh-jauh hari sebelum
program diversifikasi pangan yang kini dikampanyekan pemerintah membahana, Emen
dan lebih dari 200 warga lainnya di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah,
Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, mengonsumsi rasi sebagai
makanan pokok sejak tahun 1924.
Ajaran karuhun
(leluhur) yang terikat dalam kepercayaan Sunda Wiwitan membuat mereka segan
melanggar tradisi memakan rasi. Kendati demikian, warga yang menganut Sunda
Wiwitan hidup rukun dan berdampingan dengan warga kampung lainnya yang sudah
beralih kepercayaan. Bahkan, perkawinan campuran lazim terjadi.
Emen yang dalam
kesehariannya dipanggil dengan Abah Emen lantaran perannya sebagai tetua adat
menuturkan, ajaran memakan rasi itu adalah upaya untuk merdeka lahir dan batin
dari segala ikatan, yang pada masa lalu berupa penjajahan Belanda.
Sekalipun penjajahan
telah berakhir, namun kebiasaan memakan rasi itu tidak akan digeser. ”Yang mau
berganti makan nasi silakan berganti. Tetapi saya akan tetap makan rasi, ini
sudah jadi ajaran karuhun yang harus dilestarikan,” katanya.
Kenyataan bahwa pada
masa sekarang diversifikasi pangan makin digalakkan karena kondisi cuaca
ekstrem dan makin berkurangnya areal pertanian, Abah Emen melihatnya sebagai
bagian kecil dari keuntungan mengikuti ajaran karuhun untuk makan rasi ialah
warganya kini tak repot mencari beras.
Dalam kehidupan
sehari-hari, warga kampung yang bepergian jauh pun membawa bekal rasi. Ba’riat
(60), salah satu warga Cireundeu menuturkan, jika keluarganya bepergian jauh,
ia terbiasa membawa rasi, buah atau sayuran. Begitu pula saat bertamu dan
dihidangkan makanan nasi beras, mereka akan berterus-terang untuk tidak
memakannya. ”Ada banyak pilihan makanan, bisa makan yang lainnya, seperti lauk
ikan, tahu, tempe, atau sayuran,” katanya.
Tidak hanya pantang makan beras,
warga Cireundeu juga tidak mengonsumsi biji-bijian sejenis padi, termasuk
ketan.Antropolog dari Universitas Padjadjaran, Budi Rajab, mengatakan, tindakan yang dilakukan masyarakat adat sesungguhnya tidak melulu didasarkan pada pertimbangan kepercayaan. Pertimbangan rasional kuat berpengaruh, terutama untuk bisa bertahan hidup. Pilihan makan rasi pun didasari pada kondisi lingkungan yang memang tidak cocok ditanami padi.
Pada perkembangannya kebiasaan itu ditransformasi menjadi keuntungan ekonomis yang menopang kehidupan warga kampung. Hal itu terbukti, misalnya, jika melihat kehidupan warga Cireundeu sekarang yang relatif berkecukupan dengan mengolah singkong menjadi aneka produk makanan.
Bernilai ekonomis
Abah Emen menuturkan, dari 286 keluarga di kampung itu, hampir semuanya memiliki ladang singkong. Warga menanam singkong di jajaran bukit yang mereka anggap gunung, yakni Pasir Panji, Gunung Jambul, Gunung Gajah Langu, Gunung Puncak Salam, dan Gunung Cimenteng. Luasan daerah perbukitan itu sekitar 800 hektar (ha), dan 25 ha di antaranya ditanami singkong. Jenis singkong yang ditanam umumnya karikil, yakni jenis yang tidak disenangi babi hutan.
Rusmana (52), contohnya, mengelola 0,3 ha lahan. Dari luasan lahan itu, ia bisa memanen 5 ton singkong. Walaupun panen setiap tahun, pada praktiknya ia bisa panen setiap bulan. Sebab, lahan singkongnya dibagi lagi menjadi delapan petak yang masa panennya tidak berbarengan.
Suhanda (61) merawat dan membersihkan lahan perkebunan
singkongnya di perbukitan Kampung Adat Cireundeu, Leuwigajah, Cimahi Selatan,
Kota Cimahi, Jawa Barat, Jumat (23/9)
”Setelah dipanen,
singkong dikuliti dan dibersihkan. Untuk bisa jadi tapioka (aci), singkong
digiling dulu, diperas, dan diendapkan sehari semalam,” tutur Rusmana.
Dari satu kuintal
singkong bisa dihasilkan 30 kilogram (kg) tapioka dan 10 kg ampas singkong.
Ampas singkong tidak begitu saja dibuang, melainkan dijemur sampai dua hari dan
kembali digiling hingga berbentuk bubuk yang disebut dengan rasi (beras
singkong). Rasi inilah yang sehari-harinya dikonsumsi warga Cireundeu.
Untuk proses pengolahan
singkong menjadi tapioka dan rasi, Rusmana tidak bersusah-payah. Kerukunan dan
rasa gotong-royong yang tinggi di antara warga membuat mereka saling membantu
ketika ada rekan petani yang panen. ”Semua warga di sini bukan orang lain,
saudara semua,” ungkapnya.
Rusmana menceritakan,
awalnya yang dijual dari singkong hanya tepung tapiokanya yang dihargai Rp
5.000 per kg. Namun, dua tahun terakhir banyak permintaan rasi dari luar daerah
kepada kelompok petani singkong Cireundeu. ”Dulu, siapa saja yang ingin rasi,
ya silakan ambil saja. Tetapi sekarang rasi dihargai sampai Rp 4.000 per kg,”
katanya.
Asep Wardiman (40),
Ketua Kelompok Petani Singkong Cireundeu menjelaskan, rasi digemari karena
kadar gulanya rendah dan baik dikonsumsi penderita diabetes. Dari 100 gram
kandungan gizi rasi terdiri dari 359 kalori energi, karbohidrat 86,5 gram,
protein 1,4 gram, dan lemak 0,9 gram. Standar gizi 100 gram beras setara dengan
120 gram singkong.
Warga pun mengolah rasi
menjadi kerupuk dan aneka penganan. Kerupuk singkong, misalnya, kini digemari
dan harganya cukup mahal. ”Delapan biji kerupuk mentah dihargai Rp 1.000.
Begitu juga dengan kulit singkong yang dijadikan dendeng,” kata Ba’riat yang
mengoperasikan mesin penggiling singkong milik kelompok tani.
Istri Ba’riat kerap
menjual sayur daun singkong di pasar. Kayu singkong yang kering biasa dipakai
kayu bakar. Ubi singkong pun acap kali difermentasi menjadi tape (peuyeum) yang
nikmat.
Perlu aksi nyata
Marleen Sunyoto, peneliti dan pengajar dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, mengatakan, kemandirian pangan yang dijalani warga Cireundeu memerlukan waktu puluhan tahun dan dilandasi atas kesadaran kolektif yang kuat antarwarga.
Marleen Sunyoto, peneliti dan pengajar dari Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad, mengatakan, kemandirian pangan yang dijalani warga Cireundeu memerlukan waktu puluhan tahun dan dilandasi atas kesadaran kolektif yang kuat antarwarga.
Dalam upaya
pemerintah mengantisipasi krisis pangan yang dipicu anomali cuaca dan
menyempitnya lahan pertanian, khususnya padi, menggalakkan kembali konsumsi
makanan pokok selain padi adalah suatu keharusan. Namun, kebijakan itu harus
disertai dengan perencanaan matang, terutama dengan mengoptimalkan potensi
lokal.
Sebagai contoh, dulu
masyarakat Madura dikenal mengonsumsi jagung, sama halnya dengan Maluku yang
mengonsumsi sagu. Namun, selama bertahun-tahun pemerintah mengintroduksi beras
sebagai makanan pokok, sehingga ketergantungan sangat tinggi pada beras,
termasuk di Madura dan Maluku.
”Untuk mengubah pola
pikir dan pola makan masyarakat itu susah. Hal yang mesti dilakukan ialah
memberikan contoh,” kata Marleen
Sejak pertengahan Juli lalu,
Jawa Barat menggulirkan program one day no rice. Namun, kebijakan itu belum terasa
implementasinya kalau tidak disertai aksi nyata. ”Percuma juga jika kebijakan
one day no rice hanya berlaku di jajaran elite pemerintahan, sedangkan di
tingkat bawah masih mengonsumsi nasi. Hanya pengurangan konsumsi beras, tapi
itu bukan berarti diversifikasi pangan,” jelas Marleen.Lebih-lebih jika masyarakat salah memaknai sehari tanpa nasi artinya bisa makan apa pun selain beras, misalkan dengan banyak makan roti. Padahal, Indonesia masih impor gandum sebagai bahan dasar terigu pembuat roti.
Pemda Jabar, kata Marleen, bisa membantu teknologi pengolahan pangan selain beras di beberapa daerah untuk mendorong diversifikasi pangan. Sejumlah daerah di Ciamis, misalnya, terbiasa mengonsumsi umbi ganyong. Daerah itu bisa dibantu dengan penyuluhan dan pemberian mesin pengolahan ganyong. Di sisi lain, program fortifikasi pangan atau penambahan zat-zat gizi pada makanan pokok selain beras juga bagian dari diversifikasi pangan.
Warga Kampung
Cireundeu telah memberikan contoh, soal pangan adalah juga soal identitas diri.
Bangsa yang tidak memiliki kemandirian pangan sejatinya adalah bangsa yang
tidak berkarakter dan nihil identitas. Oleh: Rini Kustiasih dan Dedi Muhtadi
JAKARTA
- Pemerintah mengimbau agar
masyarakat Indonesia tidak ketergantungan pada beras sebagai bahan makanan
utama. Menanggapi imbauan tersebut, salah seorang dosen Universitas Padjadjaran
(unpad) pun mengembangkan beras singkong atau rasi sebagai alternatif bahan
makanan. Marleen Sunyoto, pengajar pada Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad (FTIP) Unpad menjadikan rasi sebagai tema utama penelitian disertasinya. Ide ini pertama kali muncul pada 2007 lalu ketika dia menjadi juri dalam Ethnic Food Festival yang dihelat oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disindag) Jawa Barat.
Saat itu, banyak peserta mengolah singkong sebagai bahan pangan utama. Salah satu peserta dari Cireundeu, Cimahi, menyajikan 'nasi goreng singkong'. Di sana, masyarakat telah terbiasa mengonsumsi rasi selama ratusan tahun. Mereka membuatnya dengan memeras parutan singkong hingga menjadi tepung, kemudian ampasnya dijemur. Setelah kering, ampas singkong yang berbentuk seperti butiran beras ini lalu ditanak seperti cara memasak nasi.
Marleen mengakui, rasi ala Cireundeu ini memang enak. Namun, menurutnya, bentuk rasi itu kurang menyerupai beras. Teksturnya lebih seperti ketan dengan warna agak kekuningan. "Saya carikan metoda bagaimana nanti kalau ditanak warnanya seperti nasi, bentuk butirannya seperti nasi, kekenyalannnya seperti nasi. Inilah yang menjadi tantangan saya. 'Rasi' yang saya buat pun bukan hanya perasan singkong, tapi dicampur dengan bahan-bahan lain sehingga lebih bergizi,” kata Marleen seperti dikutip dari situs Unpad, Kamis (28/4/2011).
Marleen bertekad, ingin memberikan alternatif makanan pokok di Indonesia sehingga tidak selalu tergantung pada beras padi. Untuk rasi, dia tidak akan murni hanya mengolah singkong menjadi seperti butiran beras padi. Nantinya, singkong akan melalui tahapan fortifikasi atau penambahan zat-zat gizi yang penting untuk tubuh.
Ibu satu anak ini pun bekerja keras untuk merealisasikan idenya. Dia masih mengembangkan formulasi dan metodologi rasi yang tepat. "Sehingga, rasi tersebut tidak hanya memiliki bentuk dan rasa seperti beras padi, tapi juga memiliki kandungan gizi tinggi dengan harga yang murah," ujarnya mengimbuhkan.
Wanita berkacamata ini tak sendirian, dia dibantu berbagai pihak dan berkonsultasi dengan beberapa ahli fortifikasi. Para mahasiswa bimbingannya bahkan ikut mengolah rasi menjadi aneka penganan seperti egg roll, tape, tiwul, dan cream soup. Marleen berniat membawa kreasi para mahasiswanya tersebut ke aneka seminar untuk menyosialisasikan bahwa dengan singkong (cassava) pun orang bisa hidup sehat.
Kepala Pusat Inkubator Bisnis Unpad itu berharap, rasi fotofikasi yang sedang dikembangkannya dapat menjadi alternatif pengganti beras miskin (Raskin). Pembagian Raskin untuk masyarakat berekonomi lemah atau di daerah rawan pangan seringkali terbentur masalah jeleknya kualitas beras yang dibagikan seperti berbau apek, berjamur, bahkan berkutu.
"Dengan mengonsumsi 'rasi', masyarakat dapat hidup sehat tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi untuk konsumsi panganan pokok" ujar Marleen berharap.(rfa) http://kampus.okezone.com/read/2011/04/28/372/450992/wah-dosen-unpad-kembangkan-beras-singkong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar